Pages

Kamis, 19 September 2024

Marotibul Qiro’ah

 Marotibul Qiro’ah

Tingkatan Tempo Bacaan Al Qur’an

 

Dalam membaca tentu ada tempo dari yang cepat hingga yang pelan ataupun lambat. Begitupun dalam membaca Al-Qur'an sudah tentu  tidak terlepas hubungannya dengan masalah tempo ini'. Ada empat tingkatan (tempo) yang telah disepakati oleh ahli tajwid, yaitu:

 

1.     At-Tartil  ( اَلتَرْتِيْلُ )

 "Yaitu: Membaca dengan pelan dan tenang mengeluarkan setiap huruf dari makhrajnya dengan memberikan sifat-sifat yang dimilikinya, baik asli maupun baru datang (hukum-hukumnya) serta memperhatikan makna (ayat)"

Membaca dengan pelan dan tenang maksudnya tidak tergopoh-gopoh namun tidak pula terseret-seret. Huruf diucapkan satu persatu dengan jelas dan tepat menurut makhrajnya dan sifatnya.  kuran panjang pendeknya terpelihara dengan baik serta berusaha mengerti kandungan maknanya.

 

2.     Al-Hadr  ( اَلْحَدْرُ )

“Yaitu : membaca dengan cepat tetapi menjaga hukum-hukumnya”

Perlu diingat yang dimaksud cepat disini adalah dengan menggunakan ukuran terpendek dalam  batas peraturantajwid, jadi bukannya keluardari peraturan sebagaimana yang banyak kita jumpai pada acara Tahlilan, Yasinan, atau Shalat Tarawih. Karena bacaan cepat yang keluar dari peraturan ini cenderung merusak ketentuan membaca Al-Qur'an sebagaimana yang telah diajarkan oleh  Rasulullah saw.

 

3.     At-Tadwir   ( اَلتَدْوِيْرُ )

"Yaitu : Tingkat pertengahan antara tartil dan hadr"

Bacaan at-tadwir ini lebih dikenal dengan bacaan sedang tidak terlalu cepat juga tidak terlalu pelan, tetapi pertengahan antara keduanya.

 

4.     At-Tahqiq  ( اَلتَحْقِيْقُ )

"Yaitu: Membaca seperti halnya tartil tetapi lebih tenang dan perlahan-lahan”

Tempo boleh dibilang sangat2 lamban,  ini biasa dipakai untuk belajar (latihan) dan mengajar. Dan tidak boleh dipakai pada waktu shalat atau menjadi imam.

 

Bagusan Yang Mana ?

 Dari keempat maratib (tempo) tersebut, manakah yang terbaik digunakan bila ditinjau dari segi ibadah? Dalam hal ini tidak terdapat kesepakatan ulama' diantara pendapat yang pernah dikemukakan oleh ulama antara lain:

 

a.     Sebagian ulama berpendapat bahwa membaca dengan cepat dan hasil yang baik lebih utama daripada dengan tartil tetapi dengan hasil sedikit. Pendapat ini bersandar pada hadits yang berbunyi:

عَنِ ابْنُ مَسْعُدٍ رَضِىَ اَلّله عَنْهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اَللَّه عَلَيْهٍ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ؛ مَنْ قَرَاءَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّه تَعَالَى فَلَهٗ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرٍ اَمْثَالِهَا٠

“ Dari Abdullah bin Mas'ud dari Nabi s.a.w  bahw a beliau bersabda : Barang siapa membaca Al-Qur,an, maka tiap huruf yang dibacanya akan mendapat satu kebaikan dan setiap kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipat."

 

b.     Jumhur ulama berpendapat sebaliknya, yaitu membaca dengan tartil walaupun sedikit lebih baik daripada jumlah yang banyak tetapi dengan cepat. Jumhur ‘ulama berargumen bahwa tujuan membaca Al-Qur',an selain sebagai ibadah juga untuk dimengerti untuk kemudian diimplementasikan dalam amal perbuatan sebagaimana yang di tuntut oleh Al-Qur'an, sedang membaca Al-Qur'an dengan peian dan tenang adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut.

 

c.     Imam Malik berpendapat bahwa tiap orang kemampuannya tidak sama. Ada yang baik bila membaca Al-Qur'an dengan pelan dan banyak salahnya bila membaca Al-Qur'an dengan cepat. Ada pula yang sebaliknya, baik bacaanya bila membaca Al-Qur'an dengan cepat dan rusak bacaannya bila membaca Al-qur’an dengan pelan. Oleh karena itu yang lebih utama adalah yang lebih mudah bagi yang bersangkutan. cepat atau lambat, sedikit atau banyak bacaannya yang penting adalah baik dan benar dengan mengikuti petunjuk kaedahnya.

 

d.     Imam Abu Hamid al-Ghozaliy mengatakan bahwa membaca Al-Qur'an dengan tartil sunnah hukumnya, baik si pembaca mengerti artinya atau tidak. Bacaan tartil selain memang diperintahkan oleh Allah juga akan terasa lebih hormat dan meresap ke dalam hati.

 

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang mana yang lebih utama dalam qiraat, telihat bahwa Imam Hamzah, Asim, dan Warsy selalu menggunakan ukuran yang terpanjang. Ibnu Katsir, Abu Amr, dan Qolun memilih bacaan hadr dengan memakai ukuran terpendek. Dan Imam al-Kisa'ii terkenal dengan qiro’atnya yang pertengahan.

Lam Ta'rif

 

لَامُ أَلْ (التَّعْرِيْفِ) وَ لَامُ الْفِعْلِ

TENTANG HUKUM LĀM TA‘RĪF DAN LĀM FI‘IL

 

لِلَّامِ أَلْ حَالَانِ قَبْلَ الْأَحْرُفِ          أُوْلَاهُمَا إِظْهَارُهَا فَلْتَعْرِفِ

قَبْلَ ارْبَعٍ مَعْ عَشْرَةٍ خُذْ عِلمَهُ           مِنْ أَبْغِ حَجَّكَ وَ خَفْ عَقِيْمَهُ

ثَانِيْهِمَا إِدْغَامُهَا فِيْ أَرْبَعِ      وَ عَشْرَةٍ أَيْضًا وَ رَمْزَهَا فَعِ.

Alif lām (Al) apabila dirangkaikan dengan kalimat isim (selain isim isyārah dan isim alam) disebut at-Ta‘rīf.

Apabila ada Al dirangkaikan dengan salah satu huruf Hijā’iyyah 14, yang terkumpul dalam syair: (أَبْغِ حَجَّكَ وَ خَفْ عَقِيْمَهُ)

(أَ – بَ – غ – ح – ج – ك – و – خ – ف – ع – ق – ي – م – ه)

 

maka hukumnya dibaca Izhhār.

 

Contoh:

 

أ – الْأَبْتَرُ – الْأَرْضُ          خ – الْخَبِيْرُ – الْخَنَّاسُ

بَ – الْبَصِيْرُ – الْبَيْتُ       ف – الْفَلَقُ -الْفِتْنَةُ

غ – الْغَمَامُ – الْغَفُوْرُ       ع – الْعَالِمِيْنَ – الْعُقَدُ

ح – الْحَمْدُ – الْحُطَمَةُ       ق – الْقُبُوْرُ – الْقَارِعَةُ

ج – الْجحِيْمُ – الْجَنَّةُ        ي – الْيَوْمُ – الْيَتِيْمُ

كَ – الْكَرِيْمُ – الْكَوْثَرُ       م – الْمُسْتَقِيْمُ – الْمَلَائِكَةُ

وَ – الْوَسْوَاسُ – الْوَدُوْدُ     ه – الْهُدَى – الْهَوَى.

 

Apabila ada Al dirangkaikan dengan salah satu dari huruf Hijā’iyyah 14, yang tersebut pada tiap-tiap kalimat dari syair ini:

 

طِبْ ثُمَّ صِلْ رَحْمًا تَفُزْ ضِفْ ذَا نِعَمْ

دَعْ سُوْءَ ظَنٍّ زُرْ شَرِيْفًا لِلْكَرَمْ.

 

(ط – ث – ص – ر – ت – ض – ذ – ن – د – س – ط – ز – ش – ل)

 

maka hukum bacaannya dibaca Idghām.Contoh:

ط – الطَّامَّةُ – الطَّارِقُ    ن – النَّفَّاثَاتُ – النَّاسُ

ث – الثَّاقِبُ – الثَّوَابُ      د – الدِّيْنُ – الدُّنْيَا

ص – الصَّادِقُ- الصِّرَاطُ   س – السَّائِحُوْنَ – السَّمَاءُ

ر – الرَّاكِعِيْنَ – الرَّحْمنُ    ظ – الظَّالِمُوْن – الظُّلُمَاتُ

ت – التَّائِبِيْنَ – التَّكَاثُرُ     زَ – الزُّجَاجُ – الزَّيْتُوْنَ

ض – الضُّحَى- الضَّالِّيْنَ     ش – الشَّيْطَانُ – الشَّمْسُ

ذ – الذَّارِيَاتِ – الذَّاكِرِيْنَ  ل – اللَّيْلُ – اللُّمَزَةُ

                                                                          

وَ اللَّامَ الْأُوْلَى سَمِّهَا قَمْريَّةْ  وَ اللَّامَ الْأُخْرَى سَمِّهَا شَمْسِيَّةْ

Lām (Al Ta‘rīf) yang pertama (yakni yang dibaca Izhhār) itu dinamakan Al Qamariyyah. Sedangkan Lām (Al-Ta‘rīf) yang kedua (yakni yang dibaca Idghām) dinamakan Al Syamsiyyah.

 

وَ أَظْهِرَنَّ لَامَ فِعْلٍ مُطْلَقًا  فِيْ نَحْوِ قُلْ نَعَمْ وَ قُلْنَا وَ الْتَقَى.

Lām fi‘il yang mati, baik berupa fi‘il mādhī, mudhāri‘ atau amar itu wajib dibaca Izhhār. Contoh:

 

قُلْ نَعَمْ – قُلْنَا – يَلْتَقِطْهُ – اِلْتَقَى

Kecuali kalau Lām fi‘il yang mati itu jatuh sebelum lām atau rā’, maka wajib dibaca Idghām.

Selasa, 17 September 2024

Ghunnah

 

Pengertian Mim dan Nun Tasydid (Ghunnah)

Mim dan Nun yang bertasydid wajib dibaca dengan hukum Ghunnah selama dua harakat atau dua ketukan. Harakat disini berarti saat membacanya, seseorang menekan huruf Mim dan Nun yang bertasydid. Bacaan ini dinamakan dengan hukum Ghunnah.

Pengertian Ghunnah secara bahasa adalah

صوت في الخيشوم

Shautun fi al-Khaysyum

Artinya: suara di pangkal hidung

Secara istilah menurut al-Shadiq Qamhawi dalam al-Burhan fi Tajwid al-Quran adalah

صوت لذيذ مركب في جسم النون و الميم فهي ثابتة فيهما مطلقا

Shautun ladzidzun fi jismi al-nun wa al-mim fahiya tsabitatun fihima muthlaqan

Artinya: Suara dengung yang tersusun dalam bentuk huruf Nun dan Mim yang mana terletak pada kedua hurufnya.

Dalam kitab Tuhfat al-Athfal dijelaskan mengenai Ghunnah sebagai berikut:

وغن نونا ثم ميما شددا # و سم كلا حرف غنة بدا

Wa ghunna nuunan tsumma miiman syuddida # wa sammi kullan harfa ghunnatin badaa

Artinya: Dengungkanlah mim dan nun yang bertasydid.. dan namakanlah kedua huruf tersebut dengan huruf ghunnah dan tampakkanlah

Qamhawi menjelaskan bahwa terdapat tingkatan kesempurnaan cara membaca Ghunnah. Yang paling sempurna adalah membacanya dengan cara mendengung di pangkal hidung. Jika belum bisa, maka boleh membacanya dengan Idgham. Apabila belum mampu maka boleh dibaca Ikhfa. Jika belum mampu juga, maka boleh dibaca Idhar Sukun (dibaca jelas). Dan yang terakhir, jika belum mampu maka boleh dibaca sebagai huruf berharakat saja.

Baca Juga: Hukum Nun Sukun dan Tanwin dalam Ilmu Tajwid

Hal yang perlu ditekankan dalam hukum Ghunnah ialah mengandung Tasydid dan Idgham. Adanya tingkatan tersebut, menurut hemat penulis, bertujuan untuk memudahkan orang yang baru belajar membaca al-Qur’an. Sehingga perlu tetap berusaha untuk melalui tingkata tersebut, sampai dapat membacanya dengan sempurna.

Contoh-contoh bacaan Hukum Ghunnah dalam al-Quran pada ayat yang ditebalkan

Surat Al-Baqarah ayat 157

أُو۟لَـٰۤىِٕكَ عَلَیۡهِمۡ صَلَوَ ٰ⁠تࣱ مِّن رَّبِّهِمۡ

Ulaa’ika ‘alaihim shalawaatum mirrabihim

Surat Al-Baqarah ayat 210

هَلۡ یَنظُرُونَ إِلَّاۤ أَن یَأۡتِیَهُمُ ٱللَّهُ فِی ظُلَلࣲ مِّنَ ٱلۡغَمَامِ

Hal yandzuruuna illaa an ya’tiyahumullahu fii zhulalim min al-ghamami

Surat Al-Baqarah ayat 270

وَمَاۤ أَنفَقۡتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوۡ نَذَرۡتُم مِّن نَّذۡرࣲ فَإِنَّ ٱللَّهَ یَعۡلَمُهُۥۗ

Wa maa anfaqtum min nafaqatin au nadzartum min nadzrin fainna Allaha ya‘lamuh.

Hukum Mim Sukun

Hukum Mim Sukun 

Mim Sukun adalah mim yang berharakat sukun. Mim sukun jika terletak sebelum huruf Hijaiyah selain Alif Layyinah (ى) memiliki tiga hukum bacaan:

  1. Ikhfa’

Ikhfa’ berarti menyamarkan. Adapun huruf Ikhfa’ berjumlah satu, yaitu huruf Ba’ (ب). Sehingga, jika terdapat Mim Sukun yang terletak sebelum huruf Ba maka dibaca Ikhfa’. Selain Ikhfa, pada posisi ini juga berlaku Ghunnah.

Bacaan ini dinamakan Ikhfa’ Syafawi karena makhrajnya dari mulut. Menurut Qamhawi, terdapat ulama yang berpendapat bacaan ini disebut Idhar, tetapi menurut pendapat yang lebih kuat dibaca Ikhfa’. Berikut ini contoh pada huruf yang ditebalkan.

Surat Al-Baqarah ayat 188

وَلَا تَأۡكُلُوۤا۟ أَمۡوَ ٰ⁠لَكُم بَیۡنَكُم بِٱلۡبَـٰطِلِ وَتُدۡلُوا۟ بِهَاۤ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ

Surat An-Nisa’ ayat 86

وَإِذَا حُیِّیتُم بِتَحِیَّةࣲ فَحَیُّوا۟ بِأَحۡسَنَ مِنۡهَاۤ أَوۡ رُدُّوهَاۤۗ

Surat an-Nahl ayat 58

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِٱلۡأُنثَىٰ ظَلَّ وَجۡهُهُۥ مُسۡوَدࣰّا وَهُوَ كَظِیمࣱ

  1. Idgham.

Hukumnya wajib, dan berlaku ketika Mim sukun bertemu huruf Mim. Bacaan ini dinamakan Idgham MitslainIdgham Mitslain Shaghir. Ketika seseorang membaca ini,  wajib menambahkan Tasydid dan memperjelas Ghunnah.

Baca Juga: Hukum Nun Sukun dan Tanwin dalam Ilmu Tajwid

Menurut al-Jazari, bacaan ini juga berlaku bagi Nun Sukun atau Tanwin yang bertemu huruf Mim. Namun, menurut pendapat yang masyhur, Idghom Mitslain yaitu ketika terdapat Mim Sukun bertemu huruf Mim. Contohnya:

Surat Ali ‘Imran ayat 152

وَتَنَـٰزَعۡتُمۡ فِی ٱلۡأَمۡرِ وَعَصَیۡتُم مِّنۢ بَعۡدِ مَاۤ أَرَىٰكُم مَّا تُحِبُّونَۚ مِنكُم مَّن یُرِیدُ ٱلدُّنۡیَا وَمِنكُم مَّن یُرِیدُ ٱلۡـَٔاخِرَةَۚ ثُمَّ صَرَفَكُمۡ عَنۡهُمۡ لِیَبۡتَلِیَكُمۡۖ

Surat Al-Baqarah ayat 270

وَمَاۤ أَنفَقۡتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوۡ نَذَرۡتُم مِّن نَّذۡرࣲ فَإِنَّ ٱللَّهَ یَعۡلَمُهُۥۗ

Surat Al-Qalam ayat 24

أَن لَّا یَدۡخُلَنَّهَا ٱلۡیَوۡمَ عَلَیۡكُم مِّسۡكِینࣱ

  1. Idzhar

Bacaan Idzhar disini ialah membaca dengan jelas tanpa mendengung (Ghunnah). Bacaan ini dikenal dengan istilah Idhar Syafawi.

Huruf Idzhar Syafawi berjumlah enam belas, yaitu semua huruf hijaiyah kecuali huruf Mim dan Ba’. Sebagian pendapat memasukkan huruf Fa dan Wawu ke dalam Idhar, namun sebagian yang lain mengkategorikannya pada Ikhfa’.

Contoh pada lafadz yang ditebalkan.

Surat Al-A’raf 194

إِنَّ ٱلَّذِینَ تَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ عِبَادٌ أَمۡثَالُكُمۡۖ فَٱدۡعُوهُمۡ فَلۡیَسۡتَجِیبُوا۟ لَكُمۡ إِن كُنتُمۡ صَـٰدِقِینَ

Surat Ibrahim ayat 21

إِنَّا كُنَّا لَكُمۡ تَبَعࣰا فَهَلۡ أَنتُم مُّغۡنُونَ عَنَّا مِنۡ عَذَابِ ٱللَّهِ مِن شَیۡءࣲۚ قَالُوا۟ لَوۡ هَدَىٰنَا ٱللَّهُ لَهَدَیۡنَـٰكُمۡۖ سَوَاۤءٌ عَلَیۡنَاۤ أَجَزِعۡنَاۤ أَمۡ صَبَرۡنَا مَا لَنَا مِن مَّحِیصࣲ

Surat Al-Mulk ayat 8

كُلَّمَاۤ أُلۡقِیَ فِیهَا فَوۡجࣱ سَأَلَهُمۡ خَزَنَتُهَاۤ أَلَمۡ یَأۡتِكُمۡ نَذِیرࣱ

Wallahu A’lam.

Kamis, 12 September 2024

Tafkhim dan Tarqiq

 Tafkhim dan Tarqiq (Lafadz Allah, Huruf Ra’, Isti’la dan Istifal)

 

Salah satu pembahasan ilmu tajwid adalah hukum tafkhim dan tarqiq. Tafkhim artinya tebal dan tarqiq artinya tipis. Tafkhim dan tarqiq diterapkan dalam lafadz Allah, huruf ro’ dan huruf yang bersifat isti’la dan istifal. Untuk lebih jelasnya lagi silahkan simak penjelasan berikut.

 

A.    Pengertian Tafkhim dan Tarqiq

Tafkhim secara sederhana bisa diartikan tebal. Adapun dalam ilmu tajwid, tafkhim adalah:

هُوَ تَسْمِيْنُ صَوْتِ الْحَرْفِ عِنْدَ النُّطْقِ بِهِ فَيَمْتَلِئُ الْفَمِّ بِصَدَى الْحَرْفِ

Tafkhim adalah menebalkan bunyi huruf ketika diucapkan maka penuhlah mulut oleh gemanya huruf.

Sedangkan tarqiq artinya tipis dan dalam ilmu tajwid didefinisikan:

هُوَ تَنْحِيْفُ صَوْتِ الْحَرْفِ عِنْدَ النُّطْقِ بِهِ فَلَا  يَمْتَلِئُ الفم بِصَدَى الْحَرْفِ

Tarqiq adalah menipiskan bunyi huruf ketika diucapkan sehingga tidak penuh mulut oleh gemanya huruf.

Perkataan tafkhim, taghlizh yang Indonesianya membesarkan, menebalkan, menggemukkan, semua ini dalam satu arti. Jadi huruf tafkhim itu caranya membaca dibesarkan /ditebalkan makhroj dan suaranya, dan kedua bibirnya moncong ke depan (mecucu Jawanya). Kalau Tarqiq membaca tipis sebaliknya tafkhim yaitu bibirnya mundur, suaranya kurus dan meringan.

suaranya kurus dan meringan. huruf yang dibaca tafkhim ialah huruf-huruf yang bersifat Isti'la’. Huruf yang lidahnya naik ketika diucapkan, Hurufnya ada 7 yaitu:

خُصَّ ضّغْطٍ قِظْ (خ ص ض غ ط ق ظ)

B.    Penerapan Hukum Tafkhim dan Tarqiq

1.     Lafadz Allah (الله)

Lafadz Allah dibaca tafkhim/tebal apabila huruf sebelumnya berharokat fathah atau dhommah.

وَاللهُ – إِنَّ اللهَ – نَصْرُ اللهِ – وَجْهُ اللهُ

Lafadz Allah yang dibaca tarqiq/tipis apabila huruf sebelumnya berharokat kasroh.

بِسْمِ اللهِ – وَكَفَى بِاللهِ

2.     Huruf Ro’

Ro’ yang dibaca tebal adalah:

a.      Apabila ro’ berharakat fathah atau fathah tanwin

وَامْرَأَتُهُ - فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ - نَارًا ذَاتَ

b.      Apabila ro’ berharakat dhommah atau dhommah tanwin

وَرُسُلِهِ - وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ - نَارٌ حَامِيَةٌ

c.      Apabila ro’ sukun dan huruf sebelumnya berharakat fathah

وَأَرْسَلَ - كِتَابٌ مَرْقُومٌ

d.      Apabila ro’ sukun dan huruf sebelumnya berharakat dhommah

وَمَا أُرْسِلُوا - وَالْمُرْسَلَاتِ عُرْفًا

e.      Apabila ro’ sukun dan huruf sebelumnya berharakat kasrah aridhah atau kasrah bukan asli yaitu kasrah yang terdapat pada hamzah washal, tetapi diwashalkan sehingga hamzah itu tidak terbaca

اِرْجِعِي - وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى

f.       Ro’ sukun karena diwaqafkan dan huruf sebelumnya berharakat fathah

وَخَسَفَ الْقَمَرُ۞ - وَجُمِعَ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ۞ - كَلَّا لَا وَزَرَ۞

g.      Ro’ sukun karena diwaqafkan dan huruf sebelumnya berharakat dhommah

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ۞

h.      Ro’ sukun karena diwaqafkan dan sebelumnya huruf mati selain ya’ yang sebelumnya ada fathah

وَالْعَصْرِ۞ - وَالْفَجْرِ۞ - وَلَيَالٍ عَشْرٍ۞

i.        Ro’ sukun karena diwaqafkan dan sebelumnya huruf mati selain ya’ yang sebelumnya ada dhommah

إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ۞ - وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ۞ - مِنْ فُطُورٍ۞

j.        Apabila ada ro’ sukun yang huruf sebelumnya berharakat kasrah dan huruf sesudahnya adalah huruf isti’la (خ ص ض ط ظ غ ق) yang tidak berharakat kasrah

إِنَّ جَهَنَّمَ كَانَتْ مِرْصَادًا - وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ

k.      Ro’ sukun karena diwaqafkan dan sebelumnya huruf isti’la yang mati.

مِنْ مِّصْرَ۞ – عَيْنَ الْقِطْرِ۞

 

Ro’ yang dibaca tipis adalah:

a.      Apabila ro’ berharokat kasroh atau kasroh tanwin

وَطُورِ سِينِينَ - مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ

b.      Ro’ sukun dan sebelumnya huruf yang berharokat kasrah dan sesudahnya bukan huruf isti’la

وَفِرْعَوْنَ – فِيْ مِرْيَةٍ

c.      Ro’ sukun karena diwaqafkan dan huruf sebelumnya berharakat kasroh

إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ۞ - يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ۞

 

d.      Ro’ sukun karena diwaqafkan dan sebelumnya huruf mati selain ya’ yang sebelumnya ada kasroh

لِذِي حِجْرٍ۞ - سِـحْـرٌ۞

e.      Ro’ sukun karena diwaqofkan dan huruf sebelumnya ya’ sukun

وَأَجْرٌ كَبِيرٌ۞ – خَيْرٌ۞

 

 Ra’ yang Bisa Dibaca Tafkhim atau Tarqiq (Jawazul Wajhain)

Huruf ra’ boleh dibaca tebal (tafkhim) atau tipis (tarqiq) dalam keadaan tertentu. Dan kebolehan ra’ dibaca tafkhim atau tarqiqnya juga ada yang dalam keadaan waqaf dan adapula ketika washal.

1. Ra’ sukun sebelumnya kasrah adan setelahnya ada huruf isti’la yang berharakat kasrah.

Kata yang memenuhi kriteria ini adalah kata (فِرْقِ) yang terdapat di Asy-Syu’ara ayat 63. Ketika washal, ra’ boleh dibaca tafkhim atau tarqiq. Alasannya adalah karena huruf isti’lanya berharakat kasrah yang merupakan harakat tipis. Yang lebih utama adalah membacanya dengan tarqiq. Adapun ketika waqaf maka hukumnya tafkhim saja.

 

2. Ra’ sukun karena waqaf yang sebelumnya huruf isti’la yang sukun dan sebelumnya huruf berharakat kasrah.

Kata yang termasuk kategori ini adalah:

 Kata (مِصْرَ) di Yusuf ayat 21 dan 99,

 Kata (بِمِصْرَ) pada Az-Zukhruf ayat 51 dan Yunus ayat 87,

 Kata (الْقِطْرِ) di Saba’ ayat 12.

Kedua kata ini apabila diwaqafkan boleh dibaca tafkhim atau tarqiq. Hal ini dikarenakan adanya huruf isti’la yang berada sebelum ra’. Akan tetapi, kata (مِصْرَ) lebih utama dibaca tafkhim dan kata (الْقِطْرِ) lebih utama dibaca tarqiq beradasarkan hukum ra’ ketika washal pada kata tersebut.

 

3. Ra’ sukun karena waqaf dan setelahnya ada Ya’ yang dibuang.

Kategori ini berlaku pada:

 Kata (وَنُذُرِ) yang terdapat di suarat Al-Qamar ayat 16, 18, 21, 30, 37, dan 39.

 Kata (يَسْرِ) di Al-Fajr ayat 4.

 Kata (فَأَسْرِ) di surat Hud: 81, Al-Hijr: 65, dan Ad-Dukhan: 23.

 Kata (أَسْرِ) di surat Taha: 77 dan Asy-Syuara’: 52.

Huruf ra’ pada kata-kata di atas ketika waqaf boleh dibaca tafkhim atau tarqiq. Adapun penyebab boleh tafkhim dan tarqiq adalah yang membacanya dengan tarqiq untuk mengisyaratkan adanya huruf Ya’ yang dibuang dan yang membacanya dengan tafkhim karena berdasarkan kaidah dasar hukum ra’. Adapun hukum yang lebih utama adalah tafkhim karena sesuai dengan kaidah ra’ dan secara rasm utsmani tidak huruf Ya’nya.

 

3.     Isti’la dan Istifal

Tafkhim juga diterapkan pada huruf yang bersifat isti’la. Isti’la adalah membunyikan huruf dengan mengangkat pangkal lidah ke langit-langit mulut, sehingga bunyi huruf menjadi lebih tinggi, tebal dan berat. Hurufnya ada 7 yaitu:

خُصَّ ضّغْطٍ قِظْ (خ ص ض غ ط ق ظ)

Lawan sifat isti’la adalah istifal dan harus dibaca tarqiq atau tipis. istifal adalah menurunnya pangkal lidah dari langit-langit (tetap berada di bawah) ketika mengucapkan huruf, sehingga bunyi huruf menjadi rendah, tipis dan ringan. Hurufnya ada 21 yaitu:

ثَبَتَ عِزُّ مَنْ يُجَوِّدُ حَرْفَهُ اِنْ سَلَّ شَكَا (ث ب ت ع ز م ن ي ج و د ح ر ف ه أ ن س ل ش ك ا)